Makam Rato
Ebuh terletak di dalam kompleks Paserean “Aer Mata”, terletak 25 km arah utara
kota Bangkalan , tepatnya di desa Buduran Kecamatan Arosbaya Kabupaten
Bangkalan, Madura. Makam Rato Ebuh adalah makam seorang wanita mulia yang bernama
SYARIFAH AMBAMI. Syarifah Ambami (Rato Ebuh) adalah keturunan Sunan Giri Gresik
ke 5. Ia dipersunting oleh Pangeran Cakraningrat 1 yang juga anak angkat Sultan
Agung Mataram.
Dikisahkan bahwa
sejak terjadinya Perang Mataram tahun 1624, Madura dikuasai oleh Sultan Agung.
Lalu ia menginginkan agar Pangeran Cakraningrat 1 memerintah Madura secara
keseluruhan. Selama Pangeran Cakraningrat 1 menjadi penguasa Madura, namun ia
jarang berada atau tinggal di Sampang. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di
Mataram, karena Raja Mataram (Sultan Agung) masih membutuhkan tenaganya untuk
memimpin kerajaannya di tanah Jawa sehingga Pangeran Cakraningrat 1 sering
tinggal di tanah jawa. Kenyataan itu membuat istrinya (Rato Ebuh) terus larut
dalam kesedihan.
Dalam kesedihan dan
kesepian Rato Ebuh karena kepergian suaminya untuk bertugas di Mataram,
sehingga ia lebih banyak tinggal di Kraton Sampang sendirian tanpa didampingi
oleh suami tercintanya. Maka untuk mengisi waktu kosongnya, Rato Ebuh lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk bertapa di suatu tempat bukit di Desa
Buduran Kecamatan Arosbaya Kabupaten Bangkalan, Madura.
Dalam tapanya, Ratu
Syarifah terus-menerus menangis dan senantiasa memohon kepada Allah SWT, agar
keturunannya yang laki-laki kelak bisa menjadi pucuk pimpinan atau penguasa
pemerintahan di Madura. Ia berharap agar pimpinan pemerintah tersebut dijabat
hingga tujuh turunan. Pada saat menjalani tapanya, Rato Ebuh bertemu dengan
Nabi Khidir as, dalam pertemuannya yang cuman sesaat itu sepertinya semua
permohonannya akan dikabulkan. Rato Ebuh merasa senang sekali mendengar
pernyataan tersebut. Kemudian Rato Ebuh pun kembali ke Kraton Sampang.
Ketika suaminya
yakni Pangeran Cakraningrat 1 datang dari bertugas di Kerajaan Mataram. Sebagai
istri yang setia, tentu saja Rato Syarifah menyambut dengan senang hati. Beliau
bahkan menceritakan apa yang dialaminya selama bertapa, termasuk adanya
petunjuk bahwa permohonannya agar keterunannya kelak memimpin pemerintah di
Madura dikabulkan juga diceritakan dengan
runtun. Mendengar tuturan Ratu Syarifah tersebut, Pangeran Cakraningrat 1 marah
dan sangat kecewa dengan pernyataan istrinya, lalu ia berkata “Mengapa kamu
cuma memohon untuk tujuh turunan, seharusnyakan keturunan kita selamanya harus
memerintah di Madura !” tegur Pangeran Cakraningrat 1 kepada Ratu Syarifah.
Betapa sedihnya Rato Ebuh melihat sikap sang suami yang seperti itu.
Sepeninggalan sang
suaminya yang bertugas ke Mataram, Ratu Syarifah memutuskan tuk kembali ke desa
Buduran untuk bertapa dan berdo’a. Dalam pertapaannya itulah Ratu Ebuh memohon
agar keinginan suaminya untuk menjadikan seleruh keturannya bisa menjadi
pemimpin pemerintah di Madura. Siang malam Rato Ebuh memohon kepada Allah swt
dan Rato Ebuh tak henti-hentinya menangis dan meneteskan air mata, sehingga air
matanya membanjiri sekitar pertapaannya sehingga ia wafat. Karena banyaknya air
mata Rato Ebuh disekitar pertapaannya, maka masyarakat setempat menamakan
pemakamannya degan AER MATA.
0 komentar:
Posting Komentar